Padangkita.com – Perempatan dekat kantor walinagari di Lubuak Jantan, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, Sabtu (12/8/2017) sepi. Demikian juga rumah gadang tua yang berhalaman luas di perempatan tersebut.
Masyarakat sekitar menyebut, bahwa rumah gadang tersebut rumahnya Chairul Saleh. Namun, masyarakat setempat enggan berbicara lebih banyak soal Chairul Saleh.
“Chairul Saleh itu kan? Orang dekat Sukarno,” ujar seorang warga Lubuak Jantan, Apriansyah.
Dia menambahkan, keluarga besar Chairul Saleh lebih banyak di Jawa (merujuk Jakarta dan daerah sekitarnya).
Mungkin banyak yang tidak tahu, lebih dari sekedar kedekatannya dengan Sukarno, Chairul Saleh merupakan salah salah seorang pemuda yang berperan besar dalam kemerdekaan Republik ini.
Tanpa pemuda, proklamasi kemerdekaan Indonesia bisa saja bukan 17 Agustus 1945. Pemudalah yang meneguhkan, untuk tidak mengatakan memaksa, keragu-raguan ‘tokoh tua’ Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan atas nama bangsa, bukan pemberian Jepang.
Para pemuda berpendapat, kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan bangsa sendiri bukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang dianggap bentukan Jepang.
Nyatanya, Sukarno dan Hatta sebagai tokoh tua, merasa kemerdekaan akan datang waktunya, tidak perlu tergesa-gesa.
Chairul Saleh memimpin pertemuan pemuda di belakang Laboratorium Biologi Pegangsaan Timur 17, pada Rabu, 15 Agustus 1945, pukul 20.00.
Hadir dalam pertemuan tersebut Darwis, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, Aidit Sunyoto, Abubakar, E. Sudewo, Wikana, dan Armansyah.
Dalam pertemuan tersebut diputuskan “Kemerdekaan adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantung-gantungkan pada orang dan kerajaan lain. Untuk menyatakan bahwa Indonesia sudah sanggup merdeka, dan sudah tiba saat merdeka, baik menurut keadaan atau kodrat maupun historis. Dan jalannya hanya satu, yaitu: dengan proklamasi kemerdekaan oleh bangsa Indonesia sendiri, dan lepas dari bangsa asing, bangsa apa pun juga”.
Pertemuan tersebut melihat, kegagalan Sjarir membujuk Sukarno –Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pascaJepang kalah dari Sekutu, harus dilanjutkan oleh pemuda dengan berunding, bahkan mendesak jika perlu.
Pertemuan ini disinyalir menjadi pangkal penculikan Sukarno, Hatta ke Rengasdengklok, 16 Agustus 1945.
C.S.T Kansil dalam buku Aku Pemuda Indonesia, menyebutkan, ketika Bung Karno dan Bung Hatta ragu-ragu untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, kelompok pemuda dari Menteng 31, dengan dedengkot seperti Chairul Saleh, Sukarni, Wikana, menculik mereka berdua ke Rengasdengklok, pukul 03.00 dini hari, 16 Agustus 1945.
Penculikan ini bermaksud menantang dan memaksa Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tanpa menafikan peran pemuda lainnya, Chairul Saleh dan Sukarni memiliki peran sangat menonjol dibalik kemerdekaan Indonesia. Chairul Saleh dianggap penggerak massa pemuda pelajar untuk mematangkan situasi, sementara Sukarni menggerakkan para perwira Peta untuk mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok.
Sehingga, bisa dikatakan, mereka berdua adalah otak penculikan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Penculikan ini pada akhirnya, mendorong Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada Jumat, 17 Agustus 1945, sekira pukul 10.00 di Pengangsaan Timur, Jakarta.
Mereka berdua juga menawarkan teks proklamasi sebagai berikut,“Bahwa dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Segala badan-badan pemerintah yang ada harus direbut oleh rakyat, dari orang-orang asing yang masih mempertahankannya.”
Pada akhirnya, naskah ini dikesampingkan dengan kekhawatiran Jepang akan bereaksi keras. Selanjutnya, naskah ketikan Sayuti Melik yang menjadi teks proklamasi.
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Aksi Chairul Saleh tidak berhenti sampai kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Dia juga mengorganisir pemuda terutama di Banten, agar mempertahankan kemerdekaan bagaimana pun caranya.
Mulanya, Chairul Saleh mensiarkan kemerdekaan ke daerah terdekat Jakarta seperti Banten. Pada 20 Agustus, Chairul Saleh mengirim empat pemuda ke Banten, untuk penyebaran berita proklamasi kepada tokoh masyarakat setempat seperti Chatib dan Sjam’oen.
Pada 1 September, Chairul Saleh mendirikan Angkatan Pemoeda Indonesia (API), untuk menyokong kekosongan kekuasaan.
Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia menjelaskan, Chairul Saleh memiliki jaringan pemuda yang cukup luas, sehingga mudah mengorganisir mereka. Seperti di Banten, Tjeq Mamad menjadi orang kepercayaan Chairul Saleh untuk menyampaikan kemerdekaan pada kaum tua di sana.
Selain itu, Chairul Saleh terpilih menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Ketua Umum Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Chairul Saleh juga aktif pada laskar-laskar bersenjata dan menjadi Ketua Dewan Politik Laskar Rakyat Jakarta Raya.
“Dia juga menjadi Ketua Biro Politik Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka, serta menjadi Sekretaris Jenderal Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang berkedudukan di Solok,” tulis Hasril Chaniago dalam buku 101 Orang Minang di Pentas Sejarah.
Menariknya, periode revolusi atau Perang Kemerdekaan (1945-1949), Chairul Saleh memilih di lorong oposisi dalam pelbagai perundingan antara Indonesia dengan Belanda.
Jalan berbeda ini semakin ditegaskannya kala memimpin Laskar Rakyat di Jawa Barat untuk menentang hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Kemudian dia ditangkap oleh A.H Nasution, dan dibuang ke Jerman.
Di masa pembuangan ini, Chairul Saleh melanjutkan studinya ke Fakultas Hukum Universitas Bonn. Dia kemudian mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).
Setelah kematian Tan Malaka tahun 1949, Chairul bersama Adam Malik dan Sukarni berhimpun di dalam Partai Murba.
Selanjutnya, Chairul Saleh mengisi pos-pos pemerintahan di masa Presiden Sukarno. Dia dikenal sebagai orang dekat Sukarno karena mengisi beberapa jabatan penting seperti Menteri Veteran, Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan hingga Wakil Perdana Menteri III.
Chairul Saleh juga tercatat sebagai Ketua MPRS pertama sebelum digantikan oleh A.H Nasution.
Secara pemikiran, hal yang penting diingat dari sosok Chairul Saleh tentu saja soal konsep Wawasan Nusantara.
Chairul Saleh menelurkan ide negara kepulauan dengan batas teritorial 12 mil laut yang disahkan pada 13 Desember 1957. Prinsip ini disahkan internasional jadi hukum laut di Montego, Jamaika pada 1982
Atas jasa-jasanya Chairul dianugerahi pangkat Jenderal TNI Kehormatan.
Anak Lintau
Chairul Saleh bergelar Datuak Paduko Rajo. tercatat lahir di Sawahlunto, 13 September 1916. Hasril menuliskan, ayah Chairul Saleh bernama Achmad Saleh, seorang dokter. Sementara ibunya bernama Zubaidah binti Ahmad Marzuki. Keduanya berasal dari Lubuak Jantan, Lintau.
Saat Chairul Saleh berusia 2 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Ibunya pulang ke Lintau, sementara ayahnya pindah ke Medan, dan menikah lagi.
Ketika Chairul Saleh berusia 4 tahun, ibunya yang sakit-sakitan meninggal dunia. Lalu Chairul Saleh diasuh kakeknya yang bernama Sulaiman Rajo Mudo.
“Di kampungnya, Chairul Saleh dikenal sebagai jagoan kecil, suka berkelahi, pergi tanpa izin, dan pulang ke rumah bila ia mau saja,” tulis Hasril.
Tahun 1924, Chairul Saleh dibawa ayahnya ke Medan. Selanjutnya, perjalanan hidup Chairul Saleh di masa-masa sekolah tergantung tempat bekerja ayahnya.
Awalnya sekolah di Medan, lalu bersambung ke Bukittinggi karena ayahnya pindah ke Bukittinggi.
Tamat dari Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi tahun 1931, Chairul Saleh dikirim ayahnya ke Medan untuk melanjutkan sekolah ke Hoge Burgerlijke School (HBS). Tidak sampai tiga tahun, dia pindah ke Koning Willem Drie (KW IIII) di Jakarta.
Setamat HBS Jakarta tahun 1937, Chairul Saleh memilih masuk Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum). Di sekolah ini, Chairul mulai menunjukkan tanda-tanda sebagai aktivis karena aktif berorganisasi.
Semasa muda, Chairul Saleh mengagumi M. Yamin, seorang bapak bangsa yang lahir di Talawi, Sawahlunto.
Semasa sekolah di tanah Jawa, sekali-kali, Chairul Saleh pulang ke Bukittinggi. Sebagaimana dia, pelajar lain juga banyak pulang ketika masa liburan.
Suatu ketika, liburan di Bukittinggi, Chairul Saleh bertemu dengan Yohana Siti Menara Saidah, putri Lanjumin Datuk Tumanggung (tokoh pers) dengan Masnin. Sama dengan Chairul Saleh, Yohana juga bersekolah di Batavia.
Tahun 1940, kedua sejoli ini menikah di rumah uwak (kakek) Chairul Saleh, Datuk Sulaiman Rajo Mudo di Lubuak Jantan. Hingga akhir hayatnya 8 Februari 1967, Chairul Saleh tidak memiliki keturunan.
Tragisnya, dia mati dalam masa tahanan politik semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Singkat cerita, sepulang dari Peking, Cina, 18 Maret 1966, dia ditahan oleh pemerintahan Soeharto tanpa proses peradilan. Chairul Saleh dituding salah seorang pendukung kebijakan Sukarno yang dianggap pro komunis.
Padahal, pada sidang kabinet di akhir tahun 1964, Chairul Saleh mengeluarkan sebuah dokumen yang berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini”.
Dokumen ini menyatakan PKI akan melakukan kudeta terhadap Presiden setelah kegagalan Revolusi Agustus 1945.
Dokumen ini dianggap oleh kelompok PKI menjatuhkan wibawa PKI di mata Sukarno, sehingga dia sempat menjadi target dalam gerakan 30 September 1965. Namun dicoret, karena Chairul Saleh saat itu berada di Peking, Cina.
Selamat dari pembantaian PKI, jalan cerita Chairul Saleh tamat di tangan rezim Soeharto.
Sumber : https://padangkita.com/orang-lintau-dibalik-kemerdekaan-indonesia/
0 Komentar